Minahasa

Sejarah Garis Waktu
Disusun oleh: Roderick C. Wahr



Tiupan Benua
(4 juta tahun SM)
Indonesia sudah ada sejak masa Pleistocene ketika dihubungkan dengan daratan Asia sekarang.

500.000 SM
Manusia Java (Homo Erectus) ditemukan di Jawa Timur.

Penduduk kepulauan Indonesia sebelumnya berasal dari India atau Burma.

3000 SM
Migrant (orang Malayu) datang dari Cina Selatan dan Indocina, dan mereka mulai mendiami kepulauan.



Batu di
Watu Pinawetengan
670
Sulawesi Utara tidak pernah membangun kekaisaran besar.
Di Sulawesi Utara pemimpin-pemimpin dari suku-suku yang berbeda, yang sama sekali bebicara bahasa yang berbeda, bertemu di batu yang dikenal sebagai Watu Pinawetengan. Disana mereka mendirikan perhimpunan negara yang merdeka, yang akan membentuk satu kesatuan dan tinggal bersama dan akan memerangi musuh manapun dari luar jika mereka diserang.

800
Kekaisaran Budha Sriwijaya dan Kerajaan Hindu Mataram muncul di Jawa dan Sumatra.

900
Keberadaan peradaban kuno di Sulawesi Utara bisa jadi berasal dari adanya batu pertama sarcophagi yang disebut Waruga.

1200
Pedagang Muslim dari Gujarat dan Persia mulai mengunjungi Indonesia dan mendirikan hubungan perdagangan antara negara ini dan India dan Persia.
Sepanjang perdagangan, mereka menyebarkan agama Islam diantara orang Indonesia, terutama sepanjang daerah pantai Jawa, seperti Demak.

1292
Kaisar Cina memberangkatkan banyak espedisi barang rongsokan ke Malaka, Jawa dan Maluku pada tahun 1292 - 1293. Ekspedisi Cina tersebut dilakukan untuk berperang atau untuk maksud berdagang. Ketika berdagang, kapal layar barang rongsokan ini membawa porselen keramik ke Minahasa. Mereka membawa keramik-keramik tersebut untuk ditukarkan dengan beras.



Waruga
1293
Permulaan Kerajaan Majapahit.

1335
Sekarang pemimpin-pemimpin penting dari suku Minahasa dikubur di sarcophagi, nisan yang berdiri, yang dinamakan Waruga.

1380
Jalur perdagangan Cina diikuti oleh pedagang-pedagang dari Arab. Salah seorang pedagang dari Arab, Sharif Makdon, pada tahun 1380, melakukan perdagangan dari Ternate, Wenang (sekarang Manado) dan lalu ke Philipina Selatan. Selain berdagang, pedagang-pedagang dari Arab ini melakukan penyebaran agama Islam di antara suku Manarouw Mangindanouw.


Bermulanya Minahasa dikenal di Peta Dunia
Oleh: Harry Kawilarang

Simon Kos, seorang Belanda, pejabat VOC di Ternate pada tahun 1630 memasuki tanah Minahasa dibawah pengaruh Spanyol. Kos melaporkan hasil perjalanannya kepada Batavia yang waktu itu menjadi pusat pemerintahan dibawah kekuasaan persekutuan dagang, ‘Verenigde Oost-Indiesche Compagnie.” Kos melaporkan bahwa Sulawesi Utara cukup potensial, baik lahan maupun posisi letaknya strategis sebagai jalur lintas rempah-rempah dari perairan Maluku menuju Asia-Timur. Lagi pula jalur lintas niaga laut lebih tenang bagi pelayaran kapal-kapal kayu dibanding melalui Laut Cina Selatan. Kos melaporkan bahwa kehadiran Spanyol di Laut Sulawesi hingga perairan Maluku Utara merupakan ancaman bagi kepentingan niaga VOC bila ingin menguasai gudang rempah-rempah kepulauan Maluku.

Laporan Simon Kos mendapat perhatian dari Jan Pieter Zoon Coen, Gubernur-Jendral VOC di Batavia yang ingin mengusir Spanyol dari kepulauan Maluku Utara guna melakukan monopoli. Usaha perluasan pengaruh di Laut Sulawesi memperoleh peluang bagi VOC terjadi disaat penduduk Minahasa berjuang menghadapi kolonialisme Spanyol. Minahasa mengalami rawan sosial, dan wanita setempat menjadi korban pemerkosaan dari para musafir Spanyol.

Masa itu VOC memperoleh dukungan dari pemerintahannya yang dilanda trauma kolonialisme Spanyol di Eropa Utara, termasuk Belanda. Invasi itu menyebabkan Belanda perang kemerdekaan di pertengahan abad ke-16 yang mashur dengan sebutan Perang 80 tahun. Spanyol kalah, dan kekalahannya berlanjut hingga Asia-Timur dan Asia-Tenggara serta kawasan Pasifik Barat-Daya. Selain dengan Spanyol, Belanda juga memusuhi Portugis yang juga menjadi saingannya dalam usaha perluasan koloni. Yang terakhir ini juga berlomba adu pengaruh dengan Spanyol memperebutkan gudang produksi rempah-rempah di Maluku sebelum pembentukan pemerintahan gabungan Portugis-Spanyol pada 1580.

Menado Dalam Peta Dunia
Pengenalan tanah Minahasa oleh bangsa-bangsa Barat diawali dengan kedatangan musafir Spanyol pada 1532. Bermula sejak bandar Malaka didatangi kapal-kapal Portugis pimpinan D'Abulquergue pada 1511 membuka jalur laut menuju gugusan kepulauan Maluku. Jalur ini kemudian baru dimapankan pada 1521. Sebelumnya kapal-kapal Spanyol pimpinan Ferdinand Magelhaens merintis pelayaran dalam usaha tujuan serupa yang dilakukan Portugis. Bedanya jalur ini dilakukan dari ujung benua Amerika-Selatan melintasi samudera Pasifik dan mendarat di kepulauan Sangir Talaud di laut Sulawesi.

Sebelum menguasai kepulauan Filipina pada 1543, Spanyol menjadikan pulau Manado Tua sebagai tempat persinggahan untuk memperoleh air tawar. Dari pulau tersebut kapal-kapal Spanyol memasuki daratan Sulawesi-Utara melalui sungai Tondano.

Hubungan musafir Spanyol dengan penduduk pedalaman terjalin melalui barter ekonomi bermula di Uwuran (sekarang kota Amurang) ditepi sungai Rano I Apo. Perdagangan barter berupa beras, damar, madu dan hasil hutan lainnya dengan ikan dan garam.

Gudang Kofi
Minahasa menjadi penting bagi Spanyol, karena kesuburan tanahnya dan digunakan Spanyol untuk penanaman kofi yang berasal dari Amerika-Selatan untuk dipasarkan ke daratan Cina. Untuk itu di-bangun Manado sebagai menjadi pusat niaga bagi pedagang Cina yang memasarkan kofi kedaratan Cina. Nama Manado dicantumkan dalam peta dunia oleh ahli peta dunia, Nicolas_Desliens‚ pada 1541. Manado juga menjadi daya tarik masyarakat Cina oleh kofi sebagai komoditi ekspor masyarakat pedalaman Minahasa. Para pedagang Cina merintis pengembangan gudang kofi (kini seputar Pasar 45) yang kemudian menjadi daerah pecinan dan pemukiman. Para pendatang dari daratan Cina berbaur dan berasimilasi dengan masyarakat pedalaman hingga terbentuk masyarakat pluralistik di Minahasa bersama turunan Spanyol, Portugis dan Belanda.

Kemunculan nama Manado di Sulawesi Utara dengan berbagai kegiatan niaga yang dilakukan Spanyol menjadi daya tarik Portugis sejak memapankan posisinya di Ternate. Untuk itu Portugis melakukan pendekatan mengirim misi Katholik ke tanah Minahasa pada 1563 dan mengembangkan agama dan pendidikan Katholik.

Lomba Adu Pengaruh di Laut Sulawesi
Sebenarnya kedatangan Portugis ke Minahasa adalah kehendak kesultanan Ternate yang waktu itu berada dibawah kepemimpinan Sultan Hairun yang mengklaim bahwa Sulawesi-Utara sebagai fazal ekonomi kesultanan yang diganggu Spanyol. Sultan Hairun juga menggunakan kekuatan Portugis untuk "menjinakkan" masyarakat "Alifuru" yang tidak ingin tunduk kepada kepemimpinan kesultanan Ternate.

Kedatangan para musafir Portugis diterima dengan tangan terbuka oleh penduduk setempat, tetapi tidak disenangi Spanyol, karena menjadi saingan. Dilain pihak penduduk setempat tidak menyenangi Spanyol karena sering membuat onar, apalagi merusak sentra-sentra budaya masyarakat pedalaman. Persaingan Spanyol dengan Portugis memuncak hingga Minahasa menjadi ajang konflik. Pertikaian berakhir dan Spanyol memperoleh konsesi di Sulawesi Utara ketika Spanyol dan Portugis menjadi kesatuan dibawah kepemimpinan raja Spanyol pada 1580.

Penetrasi Budaya dan Agama
Minahasa yang semula merupakan tempat persinggahan, oleh Spanyol menjadi pangkalan penting guna menguasai Filipina dan dipusatkan di Manado dan Amurang. Juga dijadikan sebagai pusat logistik bahan-bahan pangan guna menunjang personal mereka di kepulauan Cebu (Filipina) dan Maluku. Hal ini terjadi setelah gudang produksi beras daerah Kali ditepi Danau Tonsawang milik masyarakat "Alifuru" dikuasai Spanyol. Sedangkan gudang beras di Tondano diperolehnya dengan jalan damai. Sebab para walak yang memimpin Tondano dikenal sangat ketat dan memberi perlawanan sengit terhadap penetrasi luar yang merugikan wilayahnya.

Spanyol tidak ingin mengambil risiko untuk berkonfrontasi dengan Tondano agar tidak membahayakan eksistensinya di Laut Sulawesi guna merebut Filipina dibawah kekuasaannya. Untuk itu Spanyol melakukan pendekatan atas dasar persamaan hak dengan para pemuka masyarakat penghuni sekitar tepi danau Tondano.

Persaingan Adi-Kuasa Eropa dikawasan Laut Sulawesi hingga perairan Laut Maluku Utara untuk menguasai kepulauan Maluku penghasil rempah-rempah mulai berkembang sejak awal abad ke-17. Persaingan itu telah mengganggu ketenteraman masyarakat Sulawesi-Utara dari lomba pengaruh yang bermula antara Spanyol dengan Portugis. Posisi Minahasa menonjol sebagai kantong ekonomi terutama sebagai produsen beras oleh berbagai kerajaan diseputar Laut Sulawesi dan Laut Ternate.

Pedalaman Minahasa yang kaya sebagai lumbung beras yang dimiliki masyarakat "Alifuru" diseputar danau Tondano tidak tersentuh oleh penetrasi luar.

Spanyol dan Portugis secara bertahap memperluas pengaruh budaya Hispanik dan menyebarkan agama Katolik di pedalaman tanah Minahasa hingga memungkinkan baginya menguasai pedalaman Sulawesi-Utara.

Penetrasi diplomasi agama dan budaya hingga Spanyol berhasil membentuk dan menguasai jaringan niaga bagi penyaluran hasil produksi komoditi pedalaman Minahasa. Akibatnya tata-niaga penduduk setempat mengalami rasa ketergantungan dari Spanyol. Pendekatan diplomasi budaya dan agama yang berlanjut dengan menguasai tata-niaga perdagangan berkembang menjadi kolonialisme hingga Spanyol tidak disenangi penduduk setempat karena menimbulkan berbagai akibat buruk oleh dominasi ekonomi dan kehidupan sosial dan selama hampir satu abad.

Pertentangan Eropa Selatan- Eropa Utara di Laut Sulawesi
Keadaan berubah di abad ke-17 ketika Belanda dan Inggris mulai memperlihatkan supremasi di Asia-Tenggara dan perairan Maluku. Sejak itupun Sulawesi Utara menjadi penting bagi VOC yang berkedudukan di Batavia dan ingin memperluas pengaruh hingga Maluku Utara. Sebab kawasan ini sangat strategis untuk mengawasi Laut Sulawesi terhadap ancaman dari utara. Peranan kota Manado sejak pendudukan Spanyol mulai menonjol sebagai pusat logistik bahan pangan, terutama komoditi beras yang dihasilkan pedalaman Minahasa. Kapal-kapal VOC untuk pertama kali memasuki bandar Manado pada 1607 untuk membeli beras dan bahan pangan lainnya yang diperlukan sebagai bekal bagi perjalanan menuju daratan Cina. Namun tidak memperoleh hasil karena larangan Spanyol yang telah menguasai niaga Sulawesi-Utara.

Pada 1607 Gubernur Cornelis Mattelief dari Batavia mengutus Jan Lodewijk Rossingeyn menjalin hubungan niaga, namun ditolak oleh Spanyol. Usaha pendekatan dilanjutkan pada 1610 ketika pimpinan VOC di Batavia mengutus Kapten Verhoeff yang juga gagal. Verhoeff memberi laporan lengkap mengenai potensi yang dimiliki Minahasa hingga menarik minat Batavia untuk menguasai Sulawesi Utara bagi kepentingan keamanan VOC di Maluku.

Pihak VOC mulai melakukan konsolidasi kekuatan untuk merebut Laut Sulawesi dari Spanyol dipusatkan di Ambon. Pertempuran singkat Spanyol-Belanda berkecamuk pada bulan Agustus 1614 dikepulauan Siau dengan kemenangan Belanda. Setelah kekalahan di Siau, Spanyol memusatkan kekuatannya di Manado. Untuk menghadapi serbuan Belanda, dibangun membangun sebuah benteng dipesisir kota itu yang berhadapan dengan pulau Manado Tua.

Kekalahan di Siau menurunkan citra Spanyol di kalangan penduduk sekitar Laut Sulawesi hingga memperlemah posisinya di Maluku-Utara. Tetapi menguntungkan posisi VOC memperluas pengaruh di Maluku-Utara dengan Kesultanan Ternate. Kemenangan gemilang dimungkinkan karena VOC sebelumnya menjalin hubungan persahabatan dengan para pemuka kesultanan pada 1607 yang dendam terhadap Spanyol. Hal ini terjadi karena Spanyol menangkap Sultan Sahid Berkat dan diasingkan ke Manila. Pihak kesultanan Ternate mendekati Belanda sebagai pengimbang menghadapi kekuatan Spanyol. Jaminan keamanan dari VOC diperoleh Ternate ketika putera Sahid, Sultan Modafar diangkat menduduki singgasana kepemimpinan pada 1610 tanpa gangguan Spanyol.

Diplomasi Minahasa
Kehadiran Belanda dan Inggris sebagai Adi-Kuasa di perairan Maluku memberi angin bagi para walak tanah Minahasa untuk mengusir Spanyol dari Minahasa dengan melakukan pendekatan kepada pihak Belanda yang telah menguasai Ternate setelah berhasil menyingkirkan kekuatan Portugis diperairan Maluku. Pendekatan terjadi ketika tiga kepala walak masing-masing: Supit, Paat‚ dan Lontoh‚ melakukan misi diplomasi dan berhasil menemui perwakilan VOC di Ternate pada 1630. Sebelum memerangi Spanyol, pihak VOC mendekati Inggris untuk tidak mencampuri. Karena Inggris juga memiliki pengaruh dibeberapa kepulauan Maluku dan hubungan antara Belanda dengan Inggris cukup akrab karena sama-sama memusuhi Spanyol dan Portugis saling berlomba melakukan perluasan pengaruh di kawasan Asia-Pasifik.

Inggris sepakat membiarkan Belanda mengusir Spanyol dari Sulawesi-Utara terutama dari tanah Minahasa. Pada awal abad ke-17 Inggris dan Belanda saling bahu membahu melakukan pengembangan usaha menuju Asia-Tenggara sebagai hasil solidaritas mengusir penjajahan Spanyol dari Eropa Utara. Pengembangan East India Company yang didirikan oleh Inggris tidak beda dengan VOC. Perluasan persekutuan dagang Belanda dan Inggris sempat dihambat oleh Spanyol dan Portugis yang merupakan saingan. Namun kedua negeri Hispanik ini tidak berdaya membendung kekuatan armada laut asal Eropa-Utara ini, hingga kehilangan pengaruh di Maluku. Tetapi jalinan hubungan akrab Belanda-Inggris tidak abadi dan berakhir dengan konfrontasi akibat penyakit monopoli menguasai rempah-rempah. Persaingan serupa juga dialami antara Spanyol dengan Portugis hingga sejak abad ke-17 kawasan Asia-Tenggara menjadi lomba konflik para Adi-Kuasa asal Eropa.

Usaha para walak membawa hasil memupuskan kekuasaan Spanyol di tanah Minahasa. Spanyol kehilangan dominasi terhadap Laut Sulawesi antara penguasa Spanyol dengan Belanda di Eropa melalui Perjanjian Munster ‚ pada tahun 1648.

Sengketa Belanda-Spanyol di Minahasa
Pengaruh VOC di Sulawesi Utara tidak disenangi Spanyol. Sebab Spanyol telah menanamkan modal dengan pengembangan berbagai komoditi pertanian ekspor seperti kofi, pisang dan kopra di Sulawesi-Utara. Komoditi ini merupakan potensi niaga dengan Asia-Timur, terutama daratan Cina. Untuk itu dikirim Bartholomeus de Soisa dari Filipina mempertahankan posisi Sulawesi-Utara terutama tempat penghuni masyarakat Minahasa. Spanyol menduduki daerah Uwuran dan beberapa tempat dipesisir pantai pada 1651 dengan bantuan prajurit asal Makassar. Karena yang terakhir ini mengklaim Sulawesi-Utara sebagai bagian dari wilayah kesultanan Makassar. Pendudukan ini menimbulkan reaksi Belanda di Ternate. Dibawah pimpinan Simon Kos, pada akhir 1655 kekuatan Belanda mendarat di muara sungai dan langsung membangun benteng.

Pembangunan Benteng ‘De_Nederlandsche_Vastigheit‚’ dari kayu-kayu balok sempat menjadi sengketa sengit antara Spanyol dengan Belanda. Kos berhasil meyakinkan pemerintahannya di Batavia bahwa pembangunan benteng sangat penting untuk mempertahankan posisi Belanda di Laut Sulawesi. Dengan menguasai Laut Sulawesi akan mengamankan posisi Belanda di Maluku dari Spanyol.

Setelah memperoleh dukungan sepenuhnya dari Batavia, Kos berlayar menuju Manado disertai dua kapal perang Belanda, Molucco dan Diamant pada awal 1661 dari Ternate. Kekuatan ini mengalahkan Spanyol dan Makassar hingga di Manado hingga Amurang pada bulan Februari 1661. Belanda memapankan pengaruhnya di Sulawesi-Utara dan merubah benteng semula dengan bangunan permanen dari beton. Benteng ini memperoleh nama baru, ‘Ford Amsterdam‚’ dan diresmikan oleh Gubernur VOC dari Ternate, [1]Cornelis Francx‚ pada 14 Juli 1673 (Benteng terletak dikota Manado dibongkar oleh Walikota Manado pada 1949 - 1950). Sejak saat itu Spanyol memusatkan koloninya di Filipina sebagai basis kepentingan ekonomi di Asia-Timur. Kolonialisme Spanyol di Filipina berakhir dan diserahkan Amerika Serikat pada 1896 akibat kalah dalam perang AS-Spanyol pantai Barat Amerika-Utara.

Diplomasi para walak mendekati Belanda berhasil mengusir Spanyol dari Minahasa. Namun konsekwensi yang harus dialami adalah rintisan jalur niaga laut di Pasifik hasil rintisan Spanyol sejak abad ke-17 terhenti dan mempengaruhi perekonomian Sulawesi Utara. Sebab jalur niaga ini sangat bermanfaat bagi penyebaran komoditi eskpor ke Pasifik. Sejak itupun pelabuhan Manado menjadi sepi dan tidak berkembang yang turut mempengaruhi pengembangan kawasan Indonesia bagian Timur hingga Pasifik Barat Daya. Dilain pihak, pelabuhan Manado hanya menjadi persinggahan jalur niaga dari Selatan (berpusat di Surabaya, Tanjung Priok yang dibangun oleh Belanda sejak abad ke-XVIII) ke Asia-Timur melalui lintasan Selat Makassar. Itupun hanya digunakan musiman saat laut Cina Selatan tidak di landa gelombang ganas bagi kapal-kapal. Sedangkan semua jalur niaga Asia-Timur dipusatkan melalui Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Samudera Hindia, Tanjung Harapan Atlantik-Utara yang merupakan pusat perdagangan dunia.

Sebagai akibatnya kegiatan hubungan ekonomi diseputar Laut Sulawesi secara langsung dengan dunia luar praktis terlantar. Karena penyaluran semua komoditi diseluruh gugusan nusantara melulu diatur oleh Batavia yang mengendalikan semua jaringan tata-niaga dibawah kebijakan satu pintu. Penekanan ini membawa derita berkepanjangan bagi kegiatan usaha penduduk pedalaman Minahasa.

Pergeseran pengaruh kekuasaan dari Spanyol kepada Belanda telah merubah sistem tata-niaga dimana komoditi Sulawesi-Utara tidak dapat berhubungan langsung dengan berbagai pasaran dipaparan Pasifik. Jaringan niaga Laut Sulawesi di Asia-Timur dan rintisan jalur niaga Pasifik yang menghubungkan kawasan ini dengan daratan benua Amerika oleh Spanyol praktis tertutup. Semua komiditi ekspor ekonomi penduduk Sulawesi-Utara dikendalikan melulu dari Batavia diciptakan sejak zaman VOC dilanjutkan oleh pemerintahan Hindia-Belanda sebagai penguasa tunggal terhadap imperium kolonial terbesarnya di Asia-Tenggara.

Namun tekanan ini menimbulkan motivasi tersendiri bagi masyarakat Minahasa mempertahankan eksistensi keberadaannya dengan pengembangan diplomasi seperti yang dilakukan para Walak Minahasa dalam cara menghadapi kolonialisme Barat.

Terlepas dari penderitaan yang dialami Minahasa dari penjajahan baik Spanyol maupun Portugis, namun hikmah dari kolonialisme Eropa hingga Minahasa mengenal pengetahuan westernisasi. Pengetahuan ini dijadikan sebagai senjata penangkal terhadap penetrasi kolonialisme Barat dengan menggunakan pengetahuan Barat.

Bermulanya Pertentangan VOC Dengan Pemerintah Belanda
Ternyata penyakit lomba monopoli menjadi penyebab hingga dampak dari perang 80 tahun di Eropa-Utara oleh rumpun Hispanik berkembang di Asia-Timur dan Tenggara dan masing-masing saling berlaga lomba adu pengaruh. Walau satu benua, tetapi masing-masing memiliki persepsi saling berbeda agama. Pengaruh reformasi agama di Eropa-Utara hingga perbedaan dengan Eropa-Selatan turut berperan. Hal ini terlihat dari gaya terapan kolonialisme "Pax Europeana" dikawasan ini, yang mana masing-masing memiliki caranya sendiri. Begitu pula dalam pengembangan unsur agama dan penyebaran Kristenisasi diberbagai koloni. Koloni-koloni Spanyol dan Portugis dialiri pengembangan Jesuitisme, sedangkan Belanda dan Jerman mengembangkan Protestantisme.

Di Minahasa mulanya berkembang Katolik pada era [1]Conquistadores‚ antara Spanyol dan Portugis yang pernah membagi peta bumi dalam dua bagian dan memperoleh titik temunya di perairan Halmahera. Kekalahan Spanyol dan Portugis dari Belanda digugusan nusantara (kecuali Filipina dan kepulauan Nusa Tenggara-Timur dan Timor-Timur) dan Pasifik Barat-Daya (penyerahan Irian dari Spanyol kepada Jerman) posisi geografi kolonialisme Eropa mengalami perubahan sejak abad ke-19. Asia-Tenggara, Laut Sulawesi, Maluku hingga Pasifik Barat-Daya bebas dari kolonialisme Spanyol dikuasai Belanda, Amerika-Serikat dan Jerman (hingga 1918).

Mulanya VOC menghendaki gugusan Nusantara melulu menjadi garapan ekonomi sesuai fungsi dari [1]Hak Oktroi‚ yang diperolehnya ketika lembaga ini didirikan pada tahun 1602 melalui persetujuan Staten-General.‚ VOC langsung berada dibawah pengawasan dari ‘Heren Zeventien,’ yang menempatkan wakil dari masing-masing provinsi di Belanda menanam modal terwujudnya usaha dagang sekaligus penunjang ekonomi di negeri Belanda yang dibentuk awal abad ke-17 di Amsterdam. Namun pertentangan berkembang ketika ‘Staten-General‚’ yang merupakan lembaga eksekutif tertinggi Belanda pada 1617 memutuskan melakukan pengembangan Kristenisasi diberbagai wilayah yang dikuasai VOC. Hal ini dilakukan guna mengimbangi Spanyol dan Portugis yang ketika itu mengembangkan agama Katolik diberbagai koloninya di Asia-Timur hingga Pasifik. Pengembangan agama dilakukan dengan dibangunnya berbagai sarana pendidikan Kristen dan gereja. Hadirnya pengembangan agama Kristen yang dikehendaki oleh pihak Staten-General tidak disenangi VOC yang ternyata memiliki persepsi sendiri dalam cara mengembangkan kekuasaannya terhadap imperium terbesarnya digugusan kepulauan nusantara.


Walak Dan Pakasa'an
Oleh: Jessy Wenas

Walak dan Pakasa'an
Pengertian walak menurut kamus bahasa Tontemboan yang dikutip Prof G.A. Wilken tahun 1912 dapat berarti:

Cabang keturunan
Rombongan Penduduk
Bahagian Penduduk
Wilayah kediaman cabang keturunan.
Jadi Walak mengandung dua pengertian yakni Serombongan penduduk secabang keturunan dan wilayah yang didiami rombongan penduduk secabang keturuan.
Kepala walak artinya pemimpin masyarakat penduduk secabang keturunan,
Tu’ur Imbalak artinya wilayah pusat kedudukan tempat pertama sebelum masyarakat membentuk cabang-cabang keturuan.
Mawalak artinya membahagi tanah sesuai banyaknya cabang keturunan.
Ipawalak artinya membahagi tanah menurut jumlah anak generasi pertama, tidak termasuk cucu dan cicit.

Penelitian G.A. Wilken ini membantah laporan residen Belanda Wensel yang menulis bahwa arti kata Walak dari bahasa Melayu Balok karena Kapala Walak Minahasa harus menyediakan Balok kayu untuk pemerintah Hindi Belanda abad 18. Kata Walak adalah kata Minahasa asli di wilayah Tontemboan, Tombuluk, Tonsea dan Tondano. Jumlah Walak di Minahasa sebelum jaman Belanda tahun 1679 tidak kita ketahui, ketika Minahasa mengikat perjanjian dengan VOC Belanda, terdapat 20 Walak di Minahasa. Memasuki abad 19, jumlah Walak di Minahasa ada 27.

Penggabungan beberapa Walak yang punya ikatan keluarga dan dialek bahasa serta “Peposanan” membentuk satu “pakasa’an sehingga kepala-kepala Walak Pakasa’an Tombulu abad 17 haruslah keturunan dotu Supit, Lontoh dan Paat. Pakasa’an tertua menurut “A’asaren Tuah Puhuhna” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1870 adalah Toungkimbut di wilayah selatan Minahasa sampai Mongondouw, Tountewoh di Tombatu sampai ke utara pantai Likupang disebelah timur Minahasa dan Tombulu dibelahan barat Minahasa dari Sarongsong sampai pantai utara Minahasa.

Menurut cerita beberapa tetua keluarga Minahasa, masih ada dua Pakasa’an dalam cerita tua Minahasa yang pergi ke wilayah Gorontalo (sekarang ini turunan opok Suawa) dan Tou-Ure yang tinggal menetap di pengunungan Wulur – Mahatus. Tou-Ure artinya orang lama. Menurut teori pembentukan masyarakat pendukung jaman batu besar atau “megalit” tulisan Drs. Teguh Asmar dalam makalahnya “Prasejarah Sulawesi Utara” tahun 1986. Jaman Megalit terbentuk sekitar 2500 tahun sebelum Masehi, contoh jaman batu besar adalah memusatkan upacara adat di batu-batu besar seperti Watu Pinawetengan. Jaman batu baru atau jaman Neoit di Sulawesi Utara dimulai tahun Milenium pertama sebelum masehi atau sekitar seribu tahun sebelum masehi. Contohnya pembuatan batu kubur Waruga. Pada waktu itu orang Minahasa yang berbudaya Malesung telah mengenal pemerintahan yang teratur dalam bentuk kelompok Taranak secabang keturunan misalnya turunan opok Soputan, Makaliwe, Mandei, Pinontoan, Mamarimbing, pemimpin tertinggi mereka adalah yang bergelar Muntu-Untu, yang memimpin musyarah di Batu Pinwetengan pada abad ke – 7.

Pakasa’an Tou-Ure kemungkinan tidak ikut dalam musyawarah di Pinawetengan untuk berikrar satu keturunan Toar dan Lumimuut dimana semua Pakasa’an menyebut dirinya Mahasa asal kata Esa artinya satu, hingga Tou-Ure dilupakan dalam cerita tua Minahasa. Belum dapat ditelusuri pada abad keberapa pakasa’an Tountewo pecah dua menjadi Pakasa’an Toundanou dan Tounsea hingga Minahasa memiliki empat Pakasa’an . Yakni Toungkimbut berubah menjadi Toumpakewa, Toumbuluk, Tonsea dan Toundanou. Kondisi Pakasa’an di Minahasa pada jaman Belanda terlihat sudah berubah lagi dimana Pakasa’an Tontemboan telah membelah dua wilayah Pakasa’an Toundanouw (lihat gambar) dan telah lahir pakasa’an Tondano, Touwuntu dan Toundanou. Pakasa’an Tondano teridiri dari walak Kakas, Romboken dan Toulour. Pakasa’an Touwuntu terdiri dari walak Tousuraya dan Toulumalak yang sekarang disebut Pasan serta Ratahan. Pakasa’an Toundanou terdiri dari walak Tombatu dan Tonsawang.



Walak dan Pakasa'an
Wilayah walak Toulour agak lain karena selain meliputi daratan juga membahagi danau Tondano antara sub-walak Tounour yakni Touliang dan Toulimambot. Yang tidak memiliki Pakasa’an adalah walak Bantik yang tersebar di Malalayang, Kema dan Ratahan bahkan ada di Mongondouw-walaupun etnis Bantik juga keturunan Toar dan Lumimuut. Menurut legenda etnis Bantik jaman lampau terlambat datang pada musyawarah di batu Pinawetengan. Ada tiga nama dotu Muntu-Untu dalam legenda Minahasa yakni Muntu-Untu abad ke-7 asal Toungkimbut (Tontemboan). Muntu-Untu abad 12 asal Tonsea-menurut istilah Tonsea. Dan Muntu-Untu abad 15 jaman Spanyol berarti ada tiga kali musyawarah besar di batu Pinawetengan untuk berikrar agar tetap bersatu.

Ratahan, Pasan, Ponosakan
Bahan data utama dari tulisan ini diambil dari buku terbitan tahun 1871. Pada awal abad 16 wilayah Ratahan ramai dengan perdagangan dengan Ternate dan Tidore, pelabuhannya disebut Mandolang yang sekarang bernama Belang. Pelabuhan ini pada waktu itu lebih ramai dari pelabuhan Manado. Terbentuknya Ratahan dan Pasan dikisahkan sebagai berikut; pada jaman raja Mongondouw bernama Mokodompis menduduki wilayah Tompakewa, lalu Lengsangalu dari negeri Pontak membawa taranaknya pindah ke wilayah “Pikot” di selatan Mandolang-Bentenan (Belang). Lengsangalu punya dua anak lelaki yakni Raliu yang kemudian mendirikan negeri Pelolongan yang kemudian jadi Ratahan, dan Potangkuman menikah dengan gadis Towuntu lalu mendirikan negri Pasan. Negeri Toulumawak dipimpin oleh kepala negeri seorang wanita bersuami orang Kema Tonsea bernama Londok yang tidak lagi dapat kembali ke Kema karena dihadang armada perahu orang Tolour. Karena orang Ratahan bersahabat dengan Portugis maka wilayah itu diserang bajak laut “Kerang” (Philipina Selatan) dan bajak laut Tobelo.

Kepala Walak pada waktu itu bernama Soputan mendapatkan bantuan tentara 800 orang dari Tombulu dipimpin Makaware dan anak lelakinya bernama Watulumanap. Selesai peperangan pasukan Tombulu kembali ke Pakasa’annya tapi Watulunanap menikah dengan gadis Ratahan dan menjadi kepala Walak menggantikan Soputan yang telah menjadi buta. Antara Minahasa dengan Ternate ada dua pulau kecil bernama Mayu dan Tafure. Kemudian kedua pulau tadi dijadikan pelabuhan transit oleh pelaut Minahasa. Waktu itu terjadi persaingan Portugis dan Spanyol dimana Spanyol merebut kedua pulau tersebut. Pandey asal Tombulu yang menjadi raja di pulau itu lari dengan armada perahunya kembali ke Minahasa, tapi karena musim angin barat lalu terdampar di Gorontalo. Anak lelaki Pandey bernama Potangka melanjutkan perjalanan dan tiba di Ratahan. Di Ratahan, dia diangkat menjadi panglima perang karena dia ahli menembak meriam dan senapan Portugis untuk melawan penyerang dari Mongondouw di wilayah itu. Tahun 1563 diwilayah Ratahan dikenal orang Ternate dengan nama “Watasina” karena ketika diserang armada Kora-kora Ternate untuk menhalau Spanyol dari wilayah itu (buku “De Katholieken en hare Missie” tulisan A.J. Van Aernsbergen). Tahun 1570 Portugis dan Spanyol bersekongkol membunuh raja Ternate sehinga membuat keributan besar di Ternate. Ketika itu banyak pedagang Islam Ternate dan Tidore lari ke Ratahan. Serangan bajak laut meningkat di Ratahan melalui Bentengan, bajak laut menggunakan budak-budak sebagai pendayung. Para budak tawanan bajak laut lari ke Ratahan ketika malam hari armada perahu bajak laut dirusak prajurit Ratahan – Pasan.

Kesimpulan sementara yang dapat kita ambil dari kumpulan cerita ini adalah

Penduduk asli wilayah ini adalah Touwuntu di wilayah dataran rendah sampai tepi pantai Toulumawak di pegunungan, mereka adalah keturunan Opok Soputan abad ke-tujuh.
Nama Opok Soputan ini muncul lagi sebagai kepala walak wilayah itu abad 16 dengan kepala walak kakak beradik Raliu dan Potangkuman.
Penduduk wilayah ini abad 16 berasal dari penduduk asli dan para pendatang dari Tombulu, Tompakewa (Tontemboan), Tonsea, Ternate dan tawanan bajak laut mungkin dari Sangihe.

Peperangan besar yang melanda wilayah ini menghancurkan Pakasa’an Touwuntu yang terpecah menjadi walak–walak kecil yang saling berbeda bahasa dan adat kebiasaan yakni Ratahan, Pasan, Ponosakan. Masyarakat Kawanua Jakarta mengusulkan agar wilayah ini dikembalikan lagi menjadi Pakasa’an dengan satu nama Toratan (Tou Ratahan-Pasan-Ponosakan). Karena negeri-negeri orang Ratahan, Pasan, Ponosakan saling silang, berdekatan seperti butir padi, kadele dan jagung giling yang diaduk menjadi satu. Penduduk wilayah ini memang sudah kawin-mawin sejak pemerintahan dotu Maringka akhir abad 18.


Pahlawan Minahasa
DR. G. SS. Y. Ratulangi (1890-1949)

DR. G. SS. Y. Ratulangi
(1890-1949)
Gerungan Saul Samuel Yacob Ratulangi yang lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi lahir pada 5 November 1890 di Tondano, Sulawesi Utara. Setelah menamatkan Hoofden School (Sekolah Raja) di Tondano, ia meneruskan pelajarannya ke sekolah tehnik (KWS) di Jakarta.
Pada tahun 1915 ia berhasil memperoleh ijazah guru ilmu pasti untuk Sekolah Menengah dari negeri Belanda dan empat tahun kemudian memperoleh gelar dokter Ilmu Pasti dan Ilmu Alam di Swiss. Di negeri Belanda ia menjadi Ketua Perhimpunan Indonesia dan di Swiss menjadi Ketua Organisasi Pelajar-pelajar Asia.

Awal Agustus 1945 Ratulangi diangkat menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Setelah RI terbentuk, ia diangkat menjadi Gubernur Sulawesi yang pertama. Ia ditangkap Belanda dan dibuang ke Serui, Irian Jaya.

Pada 30 Juni 1949, Sam Ratulangi meninggal dunia di Jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh (Belanda). Jenazahnya kemudian dimakamkan di Tondano.


Oleh: David Tulaar - dari “Minahasalogi”

Yang patut dicatat dua peristiwa besar yang turut menandai kebangkitan Minahasalogi di era 1980-an, yaitu:


Pelaksanaan Seminar Penentuan Hari Jadi Daerah Minahasa di Tondano, 24-27 Mei 1982
Seminar dalam rangka perayaan Yubileum 50 tahun GMIM Bersinode di Manado, 8-10 Oktober 1984.
Selain menjadi ajang temu wicara para pakar, kedua acara ini juga meninggalkan banyak monografi yang sangat bermanfaat bagi studi ke-Minahasaan. Sayangnya, hanya materi-materi seminar di Tondano yang didokumentasikan sebagai satu kumpulan “Materi Penunjang”, sedangkan bahan-bahan seminar di Manado harus dicari pada koleksi-koleksi pribadi.

Kalau di seminar di Tondano ada pemakalah seperti H.M. Taulu dan Noldy Ch. Kumaunang, dari seminar di Manado ada nama-nama seperti E.K.M. Masinambow, O.E.Ch. Wuwungan dan Jan van Paassen.

Juga karya-karya lepas tokoh-tokoh ini perlu didata dan diarsipkan dengan baik, karena merupakan bagian dari kekayaan studi Minahasalogi.

Sebagaimana diketahui, sebagai hasil “politis” dari seminar penentuan hari jadi daerah Minahasa itu, ditetapkanlah tanggal 5 November 1428 sebagai hari jadi Minahasa. Sehingga, tepat pada tanggal 5 November 1983, HUT Minahasa ke-555 dirayakan secara meriah.

Penentuan tanggal 5 November mempunyai arti simbolis dan merujuk pada tanggal wafatnya lahirnya(¹) Oom Sam Ratulangi. Tetapi mengapa tahun 1428 yang ditetapkan, sampai sekarang belum jelas benar alasannya. Mungkin para pelaku sejarah yang terlibat pada waktu itu boleh membantu dalam menjawab pertanyaan terbuka ini. Yang pasti, antara proses seminar dan hasil “politis” penentuan hari jadi itu ada kesenjangan historis dan analitis yang masih perlu dijembatani.





Tidak ada postingan.
Tidak ada postingan.